Ilmu Sosial dan Kehidupan
Akad Kerjasama Mudharabah Dan Musyarakah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا
اَنْفُسَكُمْ ۗ
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-nisa’ [4]: 29).[1]
Memakan harta orang lain atau mengambil hak orang
dengan jalan yang batil adalah sesuatu yang di larang dan di haramkan dalam agama
Islam.[2] Karena hal
tersebut dapat merugikan orang lain dan akan timbul kerusakan dalam suatu
tatanan kehidupan bermasyarakat.
Seperti yang Allah firmankan dalam Quran surat an-nisa
tersebut, menjelaskan bahwa tidak boleh saling memakan harta dengan jalan batil
atau tidak benar dan diperbolehkan melalui jual beli, kerjasama dengan akad
tertentu, dan sejenisnya.
وَاَحَلَّ
اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”(Q.S. Al-baqarah [2]: 275).[3]
Hukum-hukum yang telah digariskan secara terang benderang
dalam surat Alquran maupun Al-hadits menunjukkan bahwa betapa hukum-hukum
tersebut menjaga ketertiban dalam berkehidupan di dunia lebih-lebih demi
keselamatan di hari kelak.
Pada pembahasan berikut, akan kami uraikan berdasarkan ayat di atas yakni tentang apa itu akad kerjasama, pengertian, dan macam-macam Mudharabah dan Musyarakah.
Kerjasama atau Syirkah menurut bahasa berarti Al-ikhtilaf yang artinya campur atau
percampuran.[4]
Hendi Suhendi memaparkaan di bukunya Fikih Mu’amalah,
Taqiyyuddin berpendapat bahwa Syirkah iyalah: seorang mencampuri hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk di bedakan..
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, Syirkah adalah akad
antara dua orang yang berserikat pada pokok harta atau modal.
Muhammad As-syarbini Al-khathib juga memaparkan bahwa Sirkah
adalah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang
masyhur.
Yang menjadi dasar hukum yakni hadits Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Hurairah.
Beliau bersabda:
“Aku jadi yang ketiga antara
dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya
apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain maka keluarlah aku darinya.”[5]
Dari sekian pendapat diatas kita dapat simpulkan bahwa Syirkah atau Akad kerjasama Iyalah, satu keadaan yang di mana ada dua orang yang sama-sama memiliki harta bercampur dan sulit di bedakan, proses percampurannya di ketahui, sehingga terjadinya proses kerjasama yang tujuannya sama-sama saling menguntungkan satu sama lain.
B. Rukun dan Syarat Akad Kerjasama
Kerjasama atau Syirkah menurut ahli fiqih ada perbedaan
pendapat. Yang pertama dari Imam Hanafi menjelaskan rukun Syirkah itu ada dua hanya
Ijab dan Kabul.[6]
Adapun ulama yang lain menjelaskan bahwa Syirkah seperti dua pihak yang berakad
dan harta berada diluar pembahasan akad, seperti dalam akad jual beli.[7]
Kerjasama menurut Imam Hanafi, yang dikutip oleh Hendi
Suhendi dalam bukunya Fiqih Muamalah ada 4 syarat yang berhubungan dengannya,
sebagai berikut:
1. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk Syirkah
baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat
yaitu: a) yang berkenaan dengan benda, yaitu yang diadakan harus dapat diterima
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga,
dan lainnya
2. Sesuatu
yang bertalian dengan Syirkah mal
atau harta. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu: a)
bahwa modal yang dijadikan objek akad adalah dari alat pembayaran. Seperti Riyal
dan rupiah, b) yang dijadikan modal ada ketika
akad syirkah dilakukan baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
3. Sesuatu
yang bertalian dengan Syarikat mufawadhah,
bahwa dalam mufawadhah disyaratkan: a) modal atau pokok harta harus sama, b) bagi
yang bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek
akad disyaratkan syirkah umum, yakni
pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun
syarat yang bertalian dengan Syirkah Inan
sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.
Menurut malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah Merdeka, balig, dan pintar. Sedangkan ulama’ Syafi'iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah Inan Sedangkan sirkah yang lainnya batal.
A.
Macam-Macam
Syirkah
Secara garis besar Syirkah di bagi menjadi dua bagian,
yakni Syirkah imlak (perkongsian ikhtiar dan ijbar) dan Syirkah Uqud.[8]
Secara terperinci di jelaskan Syirkah dibagi menjadi 8,
sebagai berikut:[9]
1. Syirkah
bilmal, yakni: kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka
masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi
setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
2. Syirkah
Al wujuh, yakni: dua orang berserikat, dan mereka tidak ada harta di dalamnya,
tetapi keduanya sama-sama berusaha.
3. Syirkah
Al wujuh Mufawwadah, yakni keduanya masuk ahli kafalah dan dalam pembelian
masing-masing setengah.
4. Syirkah Wujuh Ain, yaitu: sesuatu dari
ikatan-ikatan yang berkeseimbangan seolah-olah bukan ahli kafalah atau seperti
tak ada kelebihan bagi penjual dan pembeli.
5. Syirkah
Al-irts, Yakni: berkumpulnya para pewaris dalam memiliki benda dengan cara
pewarisan.
6. Syirkah
Al-gonimah, yakni: berkumpulnya para tentara dalam pemilikan ghanimah.
7. Syirkah
Mutaba ‘ain Syai’a Bainahuma, yakni: dua orang atau lebih berkumpul dalam
pembelian rumah dan yang lainnya.
8. Syirkah
Al-amal, yaitu: berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan barang dengan
waris pembelian, pemberian atau yang lainnya.
Dari sekian pembagian macam-macam sirkah tersebut ada beberapa model syirkah, contohnya syirkah bilmall yang paling sering kita temukan yang di praktikkan di masyarakat maupun di instansi tertentu. Karena dengan harta atau uang atau mall akan mudah merencanakan dan mengadakan satu kesepakatan untuk sama-sama memperoleh laba yang bisa di bagi antara pemodal dan pekerja.
B. Pengertian Mudharabah
Mudharabah secara bahasa berasal dari kata Ad-darbu yang berartikan memukul. Mudharabah
juga dapat diartikan sebagai proses seseorang melangkahkan kakinya dalam
melaksanakan usahanya.[10]
Mudharabah atau qirad bagian dari salah satu bentuk
perjanjian kerja sama, sedangkan istilah mudharabah biasa digunakan orang Irak sedangkan
kata qirod sering digunakan oleh orang hijaz, akan tetapi maksud dari keduanya
yaitu sama. Pengertian menurut fuqaha, yaitu pemilik saham menyerahkan sahamnya
kepada pekerja atau penguasa untuk mengembangkan atau memperdagangkan hasil
dari keuntungannya dibagi di antara keduanya dengan kesepakatan bersama.[11]
Kegiatan mudharabah ini secara praktik adalah janjian
kerjasama antara pemilik modal dan pengelola dan nanti hasil dari itu dibagi
sesuai kesepakatan antara keduanya. Apabila dalam prosesnya mengalami kerugian
dan itu sebabnya bukan dari kelalaian pengelola, dan jika perjanjian awal pemilik
modal yang akan menanggung kerugian, maka seluruh kerugian di tanggung oleh
pemilik modal. Namun apabila kerugian terjadi akibat dari kelalaian pengelola
maka semua kerugian ditanggung oleh pengelola tersebut.
B.
Rukun
dan Macam-Macam Mudharabah
Para Ulama’ berbeda tentang rukun dan syarat
mudharabah. Dari ulama Hanafiah, mudharabah itu rukunnya dibagi dua yaitu:
Ijab/pernyataan pemberi saham dan yang kedua adalah kabul, yaitu pernyataan
penerima saham atau pengelola. Perjanjian itu memenuhi syarat apabila diantara keduanya
sudah mengucapkan.[12]
Menurut ulama yang lain rukun Mudharabah itu ada 3, yang
pertama: Aqidain yaitu dua orang yang berjanji, kedua: Ma’qud Alaih ya’itu
saham atau modal, yang ketiga: Sighah ya’itu: pernyataan Ijab dan Qabul dari
kedua belah pihak. Ulama Syafi'iyah menjelaskan rukun mudharabah ada 5 unsur.
Pertama Aqidain, yakni dua orang yang melakukan perjanjian, kedua Mall atau
saham, ketiga amal atau usaha yang dikelola, keempat laba atau hasil, dan yang
kelima sigoh atau pelafalan Ijab dan Qabul dari kedua belah pihak.
Terkait pendapat beberapa ulama di atas ada beberapa
syarat yang harus terpenuhi:
1. Aqidain
(dua orang yang melakukan perjanjian) harus cakap.
Orang yang yang melakukan akad atau perjanjian haruslah
cakap bertindak secara hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena satu
posisi orang yang akan mengelola saham adalah wakil dari pemilik saham itu.
sebabnya syarat-syarat seorang wakil berlaku bagi pengelola saham dalam
transaksi mudharabah.
2. Mall
(harta/modal).
Harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan
antara saham yang diperdagangkan dengan keuntungan dari perdagangan yang akan
dibagikan kepada kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Saham atau modal boleh berupa harta yang tidak bergerak, seperti
tempat usaha, tidak boleh berupa hutang.
3. Amal
(usaha yang dikelola).
Amal yang dikelola yang dikelola tidak bertentangan
dengan ukum islam misalnya usaha tempat judi, minuman yang memabukkan, narkoba
dan obat-obat terlarang dan jenis usaha lain yang merugikan bagi kehidupan manusia.
4. Ar-ribhu
(laba/keuntungan).
Laba atau keuntungan keuntungan akan menjadi pemilik
bersama dan dibagi sesuai dengan kesepakatan di awal perjanjian apabila
pembagian keuntungan tidak jelas menurut ulama hanafi ah perjanjian tersebut
rusak atau batal.
5. Sigoh
(kalimat perjanjian).
Sigoh merupakan pernyataan ijab dan qabul dari kedua
belah pihak untuk melaksanakan usaha baik dalam bentuk lisan dan tulisan.
Secara umum macam-macam Mudharabah juga dibagi menjadi
dua bagian, yang pertama: Mudharabah
Multaqoh, yakni: bentuk kerjasama antara pemilik saham dengan pihak pekerja
atau pengusaha, bentuk usahanya tidak ditentukan dan tidak dibatasi oleh
pemilik saham. Sedangkan hasil dari usaha tersebut akan dibagi bersama sesuai
kesepakatan. Yang kedua: Mudharabah
Muqoyyad, yakni: bentuk kerjasama antara pemilik saham dengan pekerja
atau pengusaha dan bentuk usahanya ditentukan dan dibatasi oleh pemilik modal.
Contoh: pembukaan alfamart yang isi penjualan semua di tentukan oleh pemilik modal
pihak pengelola hanya menjual.
Berakhirnya Mudharabah menurut ulamak fikih, disebabkan
beberapa hal, yang pertama: Salah
satu pihak menyatakan batal atau pelaksana pekerja dilarang bertindak hukum
terhadap saham yang diberikan dan pemilik saham menarik sahamnya. Yang kedua: Salah seorang yang
melaksanakan perjanjian meninggal. Jumhur ulama berpendapat bahwa Mudharabah
batal apabila salah seorang meninggal dunia baik pemilik saham maupun pekerja,
karena perjanjian mudharabah sama dengan perjanjian wakalah atau perwakilan
yang gugur disebabkan meninggalnya orang yang mewakili kan.[13]
C.
Pengertian
Musyarakah
Musyarokah secara bahasa berarti percampuran. Yakni
percampuran antara salah satu dari dua harta dengan lainnya, tanpa dibedakan
antara keduanya. Istilah Musyarakah juga dalam pembahasan hukum positif
terkenal dengan sebutan perseroan.
Menurut
ulama Fiqih, Musyarakah dapat diartikan sebagai berikut:[14]
1. Menurut ulama Hanafiyah, Musyarakah
adalah perjanjian antara dua orang yang melakukan kerjasama pada harta pokok
dan keuntungan.
2. Menurut ulama malikiyah,
Masyarakat adalah perjanjian yang dilaksanakan antara dua orang atau lebih
dengan dasar saling tolong-menolong dalam sebuah usaha dan keuntungannya akan
dibagi bersama.
3. Menurut Syafi'iyah:
mMsyarakah adalah kesepakatan hak atau saham yang dimiliki oleh dua orang atau
lebih dengan cara yang sudah berlaku.
4. Menurut ulama Hambaliyah: Musyarakah
merupakan perkumpulan/ perkongsian hak atau harta bersama.
B. Rukun Musyarakah dan Macam-macam musyarakah
Rukun merupakan suatu keharusan seseorang dalam
melaksanakan sebuah perjanjian. Ulama’ berbeda pendapat tentang rukun-rukun
musyarakah. Menurut ulama’ Hanafiyah rukun musyarakah ada 1 hal, yakni Sigah (Ijab dan Kabul). Sedangkan menurut
jumhur ulama yang lain, rukun musyarokah itu meliputi 2 hal, yakni Sigah dan Objek.
Adanaya perbedaan pendapat tentang rukun musyarakah menuntut
kita memilih sesuai dengan pemahaman yang sudah berjalan di masyarakat.
Secara garis besar ada dua macam Musyarokah, yakni Musyarokah Al-milk (perserikatan dalam
kepemilikan), dan yang kedua adalah Musyarakah
Al-uqud (perserikatan dalam akad/kontrak).
Musyarokah
Al-milk di bagi menjadi dua sebagai berikut:
1.
Ikhtiyari
Musyarokah Ikhtiyari
yaitu perseroan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang bersekutu seperti
dua orang yang sepakat membeli suatu barang atau Mereka menerima harta hibah, wasiat,
atau wakaf dari orang lain, kemudian kedua orang tersebut menerima pemberian hibah,
wasiat, atau wakaf tersebut dan menjadi hak mereka secara bersama.
2.
Al-ijbar
Musyarakah Ijbar
yaitu perseroan yang ditetapkan oleh dua orang atau lebih yang tidak didasarkan
atas perbuatan keduanya seperti dua orang yang mewariskan sesuatu. Maka yang
diberi waris menjadi Serikat mereka.
Hukum Kedua jenis persekutuan ini bagi seseorang yang
berserikat seolah-olah sebagai orang lain. Oleh karenanya, salah seorang
diantara mereka yang berserikat tidak boleh mengelola harta perserikatan nya
tanpa seizin dengan serikatnya, karena keduanya tidak memiliki wewenang untuk
menentukan bagian masing-masing.
Musyarakah
Uqud di bagi menjadi empat sebagaiberikut:
1.
Al-inan
Musyarakah Al-inan adalah kontrak antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak Memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Kedua pihak terbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang
disepakati di antara mereka. Akan tetapi porsi masing-masing pihak baik dalam
dana maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan identik Sesuai dengan
kesepakatan mereka.
2.
Al-mufawadhah[15]
Musyarakah Al-mufawwadah yaitu kontrak kerjasama antara
dua orang atau lebih setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana
dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian
secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah
kesamaan dana yang diberikan, kerja tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak.
3.
Al-Abdan
Musyarakah Al-abdan yakni kontrak kerjasama antara dua
orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan
dari pekerjaan yang menjadi kesepakatan bersama. Misalnya kerjasama penjahit
untuk menerima orderan pembuatan seragam pada sebuah sekolah.
4.
Al-wujud
Musyarakah al-wujud yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra kerja. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan tersebut karenanya kontrak ini biasanya disebut juga sebagai masyarakat yang di piutang.
A. Kesimpulan
Secara garis besar akad kerjasama atau syirkah memiliki
banyak perbedaan pendapat secara langsung. Sebagaimana mazhab hanafi hanya
cukup dengan dua syarat dalam melakukan syirkah, sedangkan Syafi'iyah menjelaskan
rukun mudharabah ada 5 unsur. Pertama Aqidain, kedua Mall, ketiga amal, keempat
laba, dan yang kelima sigoh.
Sehingga dengan banyak perbedaan pendapat itu, dalam
menentukan hukum di lapangan harus benar-benar mengenal. Jangan sampai hukum
yang di keluarkan akan menimbulkan kegaduhan atau menimbulkan persepsi yang
tidak di inginkan.
Dalam perkembangannya dari pengamalan fikih klasik
hingga fikih kontemporer sekarang Syirkah inan paling dominan di pakai di
kalangan masyarakat, lebih-lebih dikalangan masyarakat nusantara. Seperti
investasi pembukaan mall yang membuka ruang investor dengan berapapun jumlah
yang ingin diinvestor, lalu pembagian hasil nanti di bagis sesuai persentase
modal yang di keluarkan oleh masing-masing investor.
Hususnya pemahaman di kalangan mazhab imam syafi’I
lebih mengedepankan metode ikhtiaton/kehati-hatian dalam menentukan suatu
hukum. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi lebih kecil
peluangnya. Dan proses kerjasama bisa berjalan lebih baik dan bertahan lama.
B.
Aplikasi
Dalam pengaplikasian hendakanya harus memahami dengan benar problematika pemahaman yang berkembang sebelum menyalurkan kepada objek syirkah. Sehingga tidak ada masalah yang timbul baik di tengah berjalannya maupun di akhirnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hafalan, Al-qur’an, (2018),
Menghafal Lebih mudah 5 waktu Hafal 1
Halaman,Bandung: Cordoba.
Azzam, Abdul Aziz
Muhammad, (2019), Fikih Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam, Jakarta:
Amzah.
Hasanuddun, Maulana dan
Jaih Mubarok, (2012), Perkembangan Akad Musyarakah Jakarta:
Kencana,
Suhendi, Hendi, (2002),
Fikih Mu’amalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Latifah, Latifah,
(2011). Studi Komparatif terhadap
Pemikiran Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tentang Syirkah, Jurnal, IAIN
Surabaya.
Anggadini, Sri Dewi,
(2014), Analisis Implementasi Syirkah pada Koprasi, Riset Akutansi: VI.
Muhammad, (2019), Manajemen Pembiyayaan Mudharabah, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Alhadi, Abu Azam, (2019),
Fikih Mu’amalah Kontemporer, Depok:
Rajawali Pers.
[1] Al-qur’an Hafalan: Menghafal Lebih mudah 5 waktu Hafal 1
Halaman (Bandung: Cordoba, 2018)
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fikih Muamalat:Sistem Transaksi Dalam Islam (Jakarta:
Amzah, 2019)
[3] Al-qur’an Hafalan: Menghafal
Lebih mudah 5 waktu Hafal 1 Halaman, … hlm. 47.
[4] Maulana Hasanuddun dan Jaih
Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah (Jakarta:
Kencana, 2012)
[5] Hendi Suhendi, Fikih Mu’amalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002)
[6] Latifah Latifah, Studi Komparatif terhadap Pemikiran Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tentang Syirkah, Jurnal, IAIN Surabaya, (2011).
[7] Hendi Suhendi, Fikih Mu’amalah, …hlm, 127
[8]
Sri Dewi Anggadini, Analisis Implementasi
Syirkah pada Koprasi, Riset akutansi: VI, (2014)
[9] Hendi
Suhendi, Fikih Mu’amalah, …hlm, 129
[10] Abu Azam Alhadi, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Depok:
Rajawali Pers, 2019).
[11] Muhammad, mengutip: Ibnu Manzur,
Manajemen Pembiyayaan Mudharabah, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2019).
[12] Abu Azam Alhadi, Fikih Mu’amalah Kontemporer, …hlm. 3.
[13] Abu Azam Alhadi, Fikih Mu’amalah Kontemporer, …hlm. 6.
[14] Abu
Azam Alhadi, Fikih Mu’amalah Kontemporer,
…hlm. 27.
[15]
Maulana Hasanuddun dan Jaih
Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah (Jakarta:
Kencana, 2012)
Komentar
Posting Komentar